Rabu, 03 Mei 2017

UUD NO. 36 TAHUN 1999 (TELEKOMUNIKASI)

Nama : Yuniar
Kelas : 4KA30
NPM : 19113599

Undang – undang no. 36 tahun 1999
tentang Telekomunikasi
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :
a.       Keamanan Negara
b.      Keselamatan jiwa manusia dan harta benda
c.       Bencana alam
d.      Marabahaya dan atau
e.       Wabah penyakit

Contoh penerapan pasal tersebut :
Pemanfaatan teknologi baru OpenBTS yang saat ini sedang dieksplorasi oleh Tim Yayasan AirPutih. Pada dasarnya OpenBTS adalah solusi untuk memberikan layanan berbasis teknologi selular (voice, SMS dan data) secara terbuka (tidak tergantung pada salah satu operator). Secara prinsip apabila dipandang dari segi regulasi dalam kondisi normal maka OpenBTS adalah stasiun selular tidak resmi yang seharusnya dilarang karena akan mengganggu infrastruktur dan layanan komersial yang telah berjalan. Akan tetapi dalam kondisi darurat misalnya di daerah bencana dimana layanan selular lumpuh atau kapasitasnya terbatas ( tidak memadai seperti terjadi di Wasior dan Mentawai) maupun karena lokasi tersebut belum terjangkau oleh operator, maka OpenBTS akan menjadi solusi bagi setiap inisiatif kemanusiaan yang sedang bekerja tanpa mereka harus mengubah atau menggunakan teknologi lain yang memberatkan, terbatas kemampuannya dan mahal misalnya telepon satelit. Artinya dengan teknologi selular yang sama dengan yang mereka pergunakan selama ini sehari – hari dapat tetap dipergunakan di lokasi berkat OpenBTS.
Apabila teknologi OpenBTS ini nantinya siap untuk diterapkan di lapangan maka Yayasan Airputih berencana untuk menyampaikan pemberitahuan sekaligus permohonan ijin kepada Kementerian Komunikasi & Informatika agar diberikan dukungan serta ijin khusus dalam hal:
  1. Sebagai penyelenggara infrastruktur dan layanan telekomunikasi darurat berbasis selular dan internet di lokasi bencana
  2. Memanfaatkan teknologi, frekuensi dan perangkat selular dan internet
  3. Melakukan terminasi dan interkoneksi kepada penyelenggara ITKP
  4. Dibebaskan dari segala kewajiban sertifikasi, pembayaran pajak, PNBP
  5. Meningkatkan daya pancar dan jangkauan layanan termasuk penyebaran.
Asalkan masih dalam situasi yang memenuhi definisi Pasal 20 UU 36/1999 maka pada prinsipnya inisiatif infrastruktur dan layanan seperti OpenBTS dapat diselenggarakan oleh siapa saja.

Pasal 42
(1)   Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
(2)   Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a.       Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b.      Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang – undang yang berlaku.
Contoh penerapannya :
Pasal 42 ayat 1
Pada tahun 2011 lalu, dunia telekomunikasi dihebohkan dengan bocornya data pelanggan. Tidak tanggung-tanggung jumlah data pelanggan yang bocor kabarnya mencapai 25 juta pelanggan. Saat itu, komisi I DPR mendesak Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengusut dan menyelesaikan kasus kebocoran data pelanggan telekomunikasi yang mencapai lebih dari 25 juta pelanggan. BRTI juga diminta berkoordinasi dengan BI untuk mengetahui bank penyedia kredit tanpa agunan (KTA) yang menggunakan SMS maupun telepon. Parlemen memberi waktu kepada lembaga itu selama satu bulan.

RDP kali ini dilatarbelakangi oleh keresahan masyarakat terhadap maraknya penyebarluasan panggilan telepon maupun SMS yang kontennya sangat beragam, termasuk di antaranya yang paling sering adalah promosi KTA. Beberapa anggota anggota Komisi I menduga ada kebocoran data pelanggan, yang menyebabkan banyaknya kiriman SMS yang setiap hari membanjiri hampir setiap perangkat telekomunikasi seluler dan FWA (Fixed Wireless Access).

Anggota Komisi I, Enggartiasto Lukita, mengatakan telah terjadi permainan bisnis yang menggunakan data pelanggan telekomunikasi. Buntutnya, konsumen dirugikan. Menurut politisi Partai Golkar ini, BRTI harusnya berkoordinasi dengan BI ketika menerima keluhan pelanggan tentang penawaran fasilitas KTA. “Pemerintah sebaiknya tidak boleh membiarkan ini,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua BRTI Basuki Yusuf Iskandar mengaku kesulitan menentukan pelaku pembobol data pelanggan pengguna telepon seluler. Soalnya, pada pertemuan yang digelar antara BRTI dengan seluruh provider belum lama ini, tidak ada satupun pihak yang mengaku telah membocorkan data pelanggan. “Kebocoran justru diduga karena pihak lain, seperti bank penyedia fasilitas kartu kredit,” katanya.

Pernyataan Basuki didukung oleh Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo, Syukri Batubara. Menurutnya, BRTI telah melakukan sejumlah tindakan, yakni memanggil PT Bumikharisma Lininusa pada tanggal 26 Januari 2011 untuk meminta klarifikasi iklan yang dibuatnya di Harian Kompas halaman 29 tanggal 10 Januari 2011, dimana perusahaan tersebut menyebutkan: “menyediakan 25 juta data pelanggan seluler aktif, valid dan legal seluruh Indonesia untuk SMS Promo anda”.

Pada klarifikasi tersebut, PT Bumikharisma menjelaskan, mereka hanya sebagai reseller dari produk mobile advertising yang bekerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi dimana SMS di- broadcast dilakukan oleh penyelenggara telekomunikasi, sehingga tidak ada nomor-nomor yang keluar dari operator. Oleh karenanya, mengenai iklan 25 juta data pengguna itu adalah data yang tetap ada di operator.

Pasal 42 ayat 2
(Jakarta, 18 November 2013). Menanggapi sejumlah pemberitaan hari ini terkait dengan beberapa kali tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap sejumlah pejabat pemerintah Indonesia, bersama ini disampaikan sikap dan pandangan Kementerian Kominfo sebagai berikut:
1. Kementerian Kominfo searah dengan penyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam jumpa persnya pada tanggal 18 November 2013 sangat menyesalkan tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Australia.
2. Untuk langkah selanjutnya, Kementerian Kominfo akan menunggu langkah-langkah berikutnya dari Kementerian Luar Negeri mengingat penanganan masalah tersebut “leading sector”-nya adalah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
3. Sikap sangat keprihatinan dan sangat kecewa yang ditunjukkan oleh Kementerian Kominfo ini selain berdasarkan aspek hubungan diplomatik, juga karena mengacu pada aspek hukum, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
4. Pasal 40 UU Telekomunikasi menyebutkan, bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Demikian pula Pasal 31 ayat UU ITE menyebutkan ayat (1) bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan / atau elektronik tertentu milik orang lain; dan ayat (2) bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan / atau dokumen elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan dan / atau penghentian informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.
5. Memang benar, bahwa dalam batas-batas dan tujuan tertentu, penyadapan dapat dimungkinkan untuk tujuan-tujuan tertentu tetapi itupun berat pesyaratannya dan harus izin pimpinan aparat penegak hukum, sebagaimana disebutkan padaPasal 42 UU Telekomunikasi menyebutkan (ayat 1), bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya; dan ayat (2) bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Demikian pula kemungkinan penyadapan yang dibolehkan dengan syarat yang berat pula yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE yang menyebutkan, bahwa kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejasaan, dan / atau institusi penegak hukum lainnya yang dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sumber :