Minggu, 20 Maret 2016

Perjalanan LGBT di Indonesia dan Dunia



LGBT seperti kita ketahui singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, danTransgender. Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an menggantikan frasa “komunitas Gay” karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang kelainan orientasi seksual.
Lesbian merupakan salah satu orientasi seksual terhadap sesame jenis(Wanita), Gay atau Homoseks adalah orientasi seksual penyuka sesama jenis (Laki-laki). Biseksual, orientasi seksual bisa kedua-duanya kepada wanita, maupun laki-laki. Serta Transgender seseorang yang ingin berubah bentuk fisiknya ketika lahir, misalnya laki-laki ingin menjadi perempuan atau sebaliknya.
Cikal bakal organisasi dan avokasi LGBT di Indonesia sudah berdiri lama. Salah satunya organisasi jadul bernama: Hiwad, Himpunan Wadam Djakarta. Wadam, wanita Adam, mengganti istilah banci dan bencong. Namun, organisasi Wimad diprotes MUI.

Kemudian pada 1982, pelaku homo mendirikan Lambda Indonesia. Pada 1986 berdiri Perlesin, Persatuan Lesbian Indonesia. Pada tahun yang sama, berdiri juga pokja GAYa Nusantara, kelompok kerja Lesbian dan Gay Nusantara.

Sementara era 1990-an semakin banyak organisasi yang berdiri. Tahukah Anda? Pendirian organisasi mereka berkedok emansipasi, merujuk emansipasi wanita. Mereka juga mendirikan media sebagai publikasi. Ada beberapa media yang didirikan sebagai wadah komunikasi antar-LGBT.

''Gue tahun 1984 mulai jadi lesbi,'' pengakuan seorang mantan lesbi yang menjadi buci.

Saat itu, ia biasa nongkrong di King Cross, Hailai, dan sejumlah pub di Jakarta. Jangan heran. Di sejumlah pub itu, dia juga sering bertemu dengan pejabat-pejabat era Orde Baru, eksekutif, maupun legislatif. Tapi, mereka hanya mencari hiburan. Beberapa tempat kongkow era jadul, kini ada juga yang sudah tutup.

Era 90-an bergerak luar biasa dengan dukungan organisasi sekutu mereka: seperti organisasi feminis, tapi tidak semuanya. Lalu, dukungan organisasi kesehatan dan seksual, organisasi layanan HIV, dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.

Mereka yang mendukung organisasi ini mendukung dan memberi ruang, bahkan untuk sejumlah kegiatan. Nah, ragam kegiatan itu sering disamarkan untuk kalangan muda.
Pada 1993, dihelat Kongres Lesbi dan Gay disingkat KLG 1, di Jogja. Dua tahun berikutnya, digelar kongres serupa. Pada 1995, KLG II diadakan di Bandung. KLG III di Bali (1997). Organisasi LGBT mulai menyeruak ke sejumlah daerah, di antaranya Surabaya, Medan, dan Ambon. Namun, pendataan jumlah pelakunya lemah.

Tak hanya organisasi dan perhelatan kongres, mereka juga menggelar pesta akbar. Dulu sangat terkenal istilah September Ceria pada 90-an. Ini adalah pesta masif pelaku LGBT yang digelar malam minggu pertama tiap September.

''Sekarang namanya gathering, khusus lesbi, ya. Sebulan sekali kita kumpul semua, semua grup. Sekali party ratusan orang. Having fun aja. Menyewa vila atau tempat sepi lah,'' demikian penuturan Amel, nama samaran, mantan pelaku lesbi.

Kembali ke perjalanan organisasi LGBT. Pada 1998, ketika sudah memasuki era reformasi, LGBT mendapatkan momentumnya. Momentum sama, awal gerbang pertama karut-marut republik ini dengan buntut diamendemennya UUD 1945. Organisasi-organisasi LGBT semakin menggurita. Mari simak laporan Dialog Nasional LGBT. 
Dalam laporan bertajuk "Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia", setebal 85 laman itu dituliskan:

Perubahan dramatis yang terjadi dalam sistem politik dan pemerintah pada Mei 1998, membuka pintu bagi gerakan ini untuk semakin berkembang dengan cakupan lebih luas:

1. Kongres Perempuan Indonesia pada bulan Desember 1998 secara resmi mengikutsertakan perwakilan dari kaum lesbian, wanita biseksual, dan pria transgender (LBT). Dalam kongres tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) menegaskan mereka secara resmi termasuk Sektor XV, yang terdiri dari orang-orang LBT.

Meskipun di beberapa provinsi yang lebih konservatif terjadi sentimen yang keberatan terhadap pengikutsertaan orang-orang LBT. Di wilayah yang mengenal kerangka ini, orang LBT dapat diberdayakan untuk mengorganisasi diri.

2. Pendekatan yang berbasis hak asasi manusia menjadi semakin nyata dalam karya banyak organisasi LGBT, baik yang sudah lama maupun yang baru muncul. Hal ini membuka peluang kerja sama lebih lanjut dengan organisasi-organisasi hak asasi manusia arus utama.

3. Sementara wacana media massa seputar HIV selama dasawarsa sebelumnya telah meningkatkan visibilitas permasalahan di seputar pria gay dan waria. Tanggapan ad hoc terhadap masalah HIV diganti dengan penyelenggaraan berbagai program yang strategis, sistematis, dan didanai secara memadai.

Pada 2001 dan 2004 diadakan konsultasi nasional dan pada awal 2007 berdiri Jaringan Gay, Waria dan Laki-Laki yang Berhubungan Seks dengan Laki-Laki Lain (GWL-INA) dengan dukungan dari mitra kerja, baik nasional, bilateral, maupun internasional (Anonim, 2012).

4. Setelah Konferensi International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA) tingkat Asia yang ke-3 di Chiang Mai, Thailand, yang diselenggarakan pada Januari 2008, enam organisasi LGBT yang berkantor pusat di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta bergabung untuk memperkuat gerakan mereka. Langkah ini menjadi awal Forum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex & Queer) Indonesia.
Dialog Nasional dihadiri 71 peserta dari 49 lembaga, termasuk wakil-wakil organisasi LGBT dari 15 di antara 34 provinsi di Indonesia. Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia digelar pada 13-14 Juni 2013 di Nusa Dua, Bali, sebagai kegiatan utama komponen Indonesia dalam rangka prakarsa ‘Hidup Sebagai LGBT di Asia’.

Diorganisasi kerja sama dua jaringan nasional, GWL-INA, yang berhubungan dengan permasalahan HIV dan Forum LGBTIQ Indonesia. Demikian tulis laporan LGBT tersebut. Pada 26 dan 27 Februari 2015, dihelat kongres LGBT Asia di Bangkok.

Dalam catatan LGBT sendiri, pada 2013, diklaim ada 119 organisasi LGBT. Organisasi tersebut tersebar ke 28 provinsi di Indonesia. Pada 2015, menurut pengakuan mantan lesbi, ada sedikitnya 200-an organisasi LGBT.

''Kalau lo bilang LGBT ada di kota doang, lo salah. Sekarang di mana-mana, strata apa saja banyak. Pelaku yang menikah banyak, tapi selingkuh dengan LGBT. Sekarang ngincar pelajar, mereka disebut brondong.''

Di kalangan jetset, LGBT terutama lesbi, ada semacam arisan brondong. Misal, si A memiliki pasangan remaja. Si B, iri. Nah, bila si B mendapatkan pasangan brondong milik si A, itu kebanggaan tersendiri. ''Siapa yang gak ngiler. Ada yang dapat rumah, mobil atau deposito. Shopping-shopping mah gampang,'' ungkap Amel.
Kaum LGBT, terutama lesbi, memiliki grup. Antara belasan sampai puluhan. Masing-masing grup memiliki basecamp untuk kongkow. Khusus di kalangan middle up, kongkow dilakukan di sejumpah pub di Jakarta. Biasanya paling banyak di daerah Jakarta Selatan. Ada juga yang ngumpul di rumah-rumah mereka. Kehidupan LGBT lekat sekali dengan alkohol, drugs, dan penyimpangan seks.

Kalau lesbi biasanya suka minum apa? Amel mengungkap, minuman mereka berbanderol ratusan ribu sampai jutaan per botol. Seperti Long Osland, Flaming Bikini, Black Russian, Jack Daniel, dan semacamnya. Beberapa diiringi ekstasi dan narkoba lain. Seringnya adalah sabu.

Jika ada acara gathering, mereka menyebarkan via broadcast. Bahkan, ada EO khusus untuk mengorganisasi acaranya. Dananya patungan. Bagi kalangan jetset, itu mudah. Ada yang menarik bila menilik laporan nasional LGBT. Di laman 64, tertulis:

''Ada sejumlah negara Uni Eropa yang pernah mendanai program jangka pendek, terutama dalam kaitan dengan hak asasi manusia LGBT. Pendanaan yang paling luas dan sistematis telah disediakan oleh Hivos, sebuah organisasi Belanda.

Dimulai tahun 2003, pendanaan ini kadang-kadang bersumber dari pemerintah negeri Belanda. Kemudian, Ford Foundation bergabung dengan Hivos dalam menyediakan sumber pendanaan bagi organisasi-organisasi LGBT.

Kedua badan penyandang dana yang terakhir disebut di atas, mengarahkan penggunaan dananya pada advokasi LGBT dan hak asasi manusia daripada penanggulangan HIV sebagaimana fokus tradisional badan pemberi dana lainnya.''
LGBT selalu menggunakan hak seksualitas dan hak asasi manusia sebagai tamengnya. Namun, mereka lupa masyarakat Indonesia yang tidak sepakat dengan LGBT juga memiliki hak asasi. Kalau mereka menggunakan hak itu untuk senjata agar diterima, masyarakat juga punya hak asasi menyelamatkan generasi dari LGBT. Menyelamatkan dari seks menyimpang, menyalahi fitrah manusia, norma, dan agama.

Kaum LGBT dan pendukungnya juga menuding agama Islam, Kristen, dan masyarakat yang menolak LGBT dianggap konsevatif. Pertanyaannya: agama mana yang menerima LGBT? Islam, Kristen, bahkan Yahudi melarang gaya hidup LGBT. Tak ada agama yang mengizinkan. Jadi, LGBT menganut agama apa, budaya mana?

Salah satu kitab suci psikologi LGBT, buku DSM, The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, biasa dikenal DSM. Buku ini terbitan American Psychiatric Association. Buku itu digunakan pelaku LGBT dan aktivis HAM untuk dijadikan pembenaran bahwa perilaku para LGBT tidak menyimpang. Disusun tujuh orang. Lucunya, lima dari penulisnya adalah pelaku LGBT.

Dilansir Hidayatullah, penulis buku tersebut adalah Judith M Glassgold Psy. Dia sebagai ketua (lesbian), Jack Dreschers MD (homoseksual), A. Lee Beckstead Ph.D (homoseksual), Beverly Grerne merupakan lesbian, Robbin Lin Miler Ph.D (biseksual), Roger L Worthington (normal), tapi pernah mendapat Catalist Award dari LGBT Resource Centre, dan Clinton Anderson Ph.D (homoseksual).

Masyarakat sepatutnya waspada gurita LGBT. Apalagi, bocah ingusan mulai terjerat jaringnya. Namun, tak pantas juga berlaku keras. Asal vonis. Alangkah elegan jika semua pihak merangkulnya, menasihatinya dengan hati, bukan emosi. Banyak dari mereka adalah korban. Korban lingkungan, dendam, dan sebagainya. Alangkah ciamik jika ada lembaga khusus yang menangani hal ini.

Tak hanya LGBT, tapi patologi sosial lain. Untuk lebih jelas mengetahui seluk beluk, keseharian, penyebab, dan potret telanjang lain tentang LGBT serta penyakit sosial di Indonesia: saya coba mengupas di buku LDU, yang masih digarap.

Observasi kecil beberapa tahun, turun lapangan, dari pelosok pegunungan sampai pedalaman Kalimantan. Berkaitan persoalan LGBT, mudah-mudahan seluruh pihak bisa turun tangan menyelesaikan secara tuntas, tentu bukan dengan jalan kekerasan.
Di Indonesia sendiri komunitas LGBT belum bisa diterima masyarakat. Tidak sedikit masyarakat berpandangan miring dari benci, kotor, serta jijiksampai mengucilkan dan menjauhi mereka. Namun demikian terdapat juga kelompok masyarakat yang justru pro terhadap komunitas ini. Salah satu bentuk pengaplikasiannya terbentuk beberapa LSM seperti Swara Srikandi di Jakarta, LGBT Gaya Nusantara, LGBT Arus Pelangi Lentera Sahaja dan Indonesia Gay Society di Yogyakarta.
Komunitas LGBT semakin terbuka menunjukkan identitas diri di ruang public dan gencar memanfaatkan teknologi informasi, termasuk media social. Sarana chatting dan facebook yang dijadikan ruang untuk saling mengetahui, mengenal dan berbagi cerita menjadi ajang pencarian pasangan. Bukti-bukti diatas merupakan salah satu contoh berkembangnya komunitas LGBT, yang menurut mereka merupakan hak asasi mereka yang patut dilindungi.
Sejumlah orang terang-terangan mempulikasikan diri sebagai kaum homoseksual di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar dan Yogyakarta. Mereka yang termasuk dalam kelompok LGBT berbagai macam profesi, dari orang biasa, artis, perancang busana, dll. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa contoh orang-orang yang berani mempublikasikan dirinya Gay seperti Dede Oetomo yang merupakan presiden Gay di Indonesia, Samuel Wattimena seorang designer terkenal memberikan pengakuan sebagai Gay di kompas edisi 18 Maret 2001, dan Jupiter Fourtissimo merupakan seorang actor yang membuat pernyataan langsung dia cara silet 24 januari 2008.
Terlepas dari pro dan kontra, akhir- akhir ini kelompok LGBT menjadi pembicaraan hangat dikarenakan menginginkan komunitasnya dilegalkan oleh Negara. Keinginan dari kelompok ini mendapat tentangan dari berbagai elemen masyarakat. Perilaku LGBT juga menjadi sorotan public, dimana beberapa waktu yang lalu pasangan homoseksual / gay di Boyolali, melangsungkan sebuah acara hajatan.

sumber :
http://suluhbali.co/artikel-komunitas-lgbt-tak-sesuai-agama-dan-adat-istiadat-indonesia/
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/01/28/o1n41d336-menelisik-perjalanan-lgbt-di-indonesia-part6